Wahai jiwa, aku telah bersumpah ke medan laga
namun engkau seakan menolak syurga
wahai jiwa, jika tidak terbunuh, kau akan mati juga
(Puisi Abdullah bin Rawahah di detik-detik syahidnya)
Apresiasi Sastra, satu-satunya mata kuliah yang paling unik yang pernah aku ambil di ITB. Di sana tak pernah sekalipun aku mendengar kata ‘Allah’ atau ‘Al Quran’ dari mulut dosen maupun asisten. Tetapi anehnya, kuliah ini banyak mengingatkanku akan Allah dan Al Quran, bahkan lebih dari mata kuliah agama.
Sang asisten berkata, “Puisi itu tidak bisa kita katakan hanya memiliki satu makna. Tetapi sebenarnya bisa bermacam-macam tafsirannya menurut orang yang membacanya…”
Makna ambiguitas dalam puisi mengingatkanku akan ayat-ayat mutasyaabihaat dalam Al Quran. Bunyi Surat Ali ‘Imran: 7 langsung terngiang-ngiang dalam kepalaku,
…Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Jika dalam puisi itu setiap orang bebas mengartikan sekehendak hatinya, maka dalam menafsirkan Al Quran tidak boleh ditafsirkan sendiri.
Dalam menulis puisi, betapa seorang penyair memikirkan kata demi kata dalam puisinya, dimana setiap kata harus diketahui maknanya sampai ke akar-akarnya. Seorang Chairil Anwar saja membutuhkan waktu berbulan-bulan hanya untuk menemukan kata ‘Aku ini binatang jalang’. Apakah yang akan para penyair itu dapatkan dengan menjual waktu mereka di dunia hanya untuk sebuah bait puisi? Padahal ada sebuah bacaan yang bahkan para jin pun berdesakan ingin mendengarnya. Seandainya para penyair itu tahu, seorang Imam Syafi’i tidak tidur semalaman hanya untuk memikirkan makna sebuah hadits Rasulullah dan memecahkan masalah umat, sehingga beliau tidak berwudhu lagi untuk shalat Subuh (karena masih ada wudhu shalat isya sebelumnya).
Dengan belajar sastra, kita belajar memaknai kehidupan. Dalam berdirinya, duduknya, dan ketika ia berbaring melihat fenomena alam atau kejadian dalam hidup mereka, para penyair menumpahkannya dalam bentuk puisi. Seandainya para penyair itu membaca Al Quran, niscaya ketika itu mereka akan mengucapkan, “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali ‘Imran: 191)
Seandainya para penyair itu adalah seorang yang bertakwa dan hapal Al Quran, maka ketika mereka melihat ciptaan Allah, mereka mengingat ayat-ayat dalam Al Quran. Seperti ketika melihat batu-batu di sungai, mereka teringat QS. Al Baqarah: 74, “…Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah…”
Ketika melihat keindahan alam, mereka ingat QS. Al Mulk, “…Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan letih.”
Ketika melihat istrinya, yang mereka berikan bukanlah puisi cinta, melainkan ayat-ayat cinta dalam Al Quran, “Memandangmu mengingatkanku akan bidadari di syurga, seperti dalam QS. Ar Rahman: 56-58. Kau seakan permata yakut dan marjan.”
Sebuah puisi yang tidak semua orang dapat menikmatinya saja, dapat direnungi begitu dalam oleh para penyair. Lalu bagaimana jika yang dinikmati itu adalah ayat-ayat Allah? Membaca puisi yang sama, bisa jadi setiap orang memaknainya dengan berbeda. Ada orang yang menganggap membaca puisi hanyalah membuang waktu saja, tetapi bagi yang lain itu dapat menjadi penyembuh orang yang mengalami depresi. Hal ini membuatku teringat Surat Al Baqarah ketika Allah membuat perumpamaan dalam Al Quran berupa seekor nyamuk. Dengan perumpamaan yang sama, ternyata setiap orang pun memandangnya dengan berbeda-beda pula. Orang yang beriman tahu bahwa itu kebenaran dari Tuhannya. Tetapi mereka yang kafir berkata, “Apa maksud Allah dengan perumpamaan ini?”
Dengan mencoba merenungi Al Quran seperti para penyair itu merenungi puisi, hasilnya memang terasa begitu mendalam. Banyak orang membaca Al Quran, tetapi hanya sedikit yang dapat merasakan kengerian ayat-ayat azab-Nya. Juga tidak banyak yang begitu merindukan syurga ketika membaca ayat-ayat syurga-Nya. Seandainya para penyair itu merenungi Al Quran, mungkin hati mereka akan bergetar. Mungkin mereka akan menangis. Betapa besar kenikmatan yang Allah berikan kepada para Sahabat Al Quran, yang hati mereka terus-terusan lapar untuk diisi dengan Al Quran. Sebuah kenikmatan yang sulit digambarkan dengan bait puisi manapun.
“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.”
QS. Asy Syu’araa’ : 224-227